Renungan AlQuran dan Malam qadar

0 komentar

Setiap bulan ramadhan tiba, tampaklah fenomena sosialisasi agama semakin marak di kota-kota besar maupun dikampung-kampung, ruh keagamaan kembali menggelora mengisi hati umat islam. Berbagai harapan dan keinginginan muncul di hati pada bulan suci itu. Ada yang mengharapkan ganjaran yang berlipat ganda, ada yang mengharapkan ampunan atas segala dosa-dosa mereka, ada pula yang ingin mendapatkan Lailat Al-Qodar.
Manisfetasi dari berbagai harapan dan keinginan itu diwujudkan dengan menyuntuki aneka ibadah pada bulan itu. Di masjid-masjid maupun di mushola-mushola selalu dipenuhi oleh jama’ah, ibadah-ibadah sunat kembali digalakkan, seperti shalat-shalat sunat, tadarus al-Qur'an, shadaqah, pengajian-pengajian baik setelah shalat tarawih maupun kuliah subuh dan lain-lainnya. Dari himpunan segala harapan dan berbagai ibadah yang mereka lakukan itu tersimpulah satu harapan untuk diampuni dosa-dosa mereka dan setelah ramadhan mendapatkan kemenangan yaitu menjadi menusia yang bertakwa.

Dari semua bentuk ibadah itu ada satu hal istimewa yang tidak terjadi atau tidak dapat dilakukan pada bulan-bulan yang lainnya. Yaitu bertafakur mengenang turunnya al-Qur'an , atau malam Lailat al-Qodar, sebab awal turunnya al-Qur'an memang terjadi pada bulan ramadhan. [2:185]

bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Dan pada kesempatan ini saya tidak akan memperdebatkan warna-warni pemahaman umat islam tentang Lailat al-Qodar. Dimana berbedaan pendapat itu berkisar pada waktu terjadinya Lailat al-Qodar, apakah dia sudah tidak turun lagi, atau masih turun setiap bulan ramadhan?

Untuk itu marilah kita cari titik persamaan dan kita jauhkan segala perbedaan yang membawa kepada perpecahan, sehingga [dengan menajamkan titik persamaan itu] akan terjalin satu sinergi di dalam menghadapi segala tantangan, ancaman dan hambatan yang menghadang dakwah kita. Satu titik persamaan yang tidak mungkin berbeda di antara umat islam adalah malam turunnya al-Qur'an itu adalah malam ditetapkan al-Qur'an sebagai suluh pelita oleh Allah untuk umat manusia.

Dengan berlandaskan titik persamaann tersebut, marilah kita renungkan kembali Nuzul al-Qur'an yang terjadi kira-kira seribu lima ratus tahun yang lalu. Mudah-mudahan dengan perenungan kembali itu dapat dijadikan sebagai sarana introspeksi terhadap diri kita, keluarga kita dan bangsa kita. Sejauh mana pemahaman kita terhadap al-Qur'an? Sudahkah kita menjadikan al-Qur'an benar-benar menjadi pedoman hidup? Jika sudah, kenapa kita selalu mengalami nasib malang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Pertama-tama marilah kita buka lembaran sejarah kita, kita awali kira-kira empat abad yang lalu. Di sana akan kita temui lembaran hitam yang tidak mungkin terlupakan selama hidup kita. Selama tiga setengah abad kita dijajah Belanda, ditambah dengan penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun.

Setelah merdeka, situasi sosial politik dinegeri tercinta inipun dilanda berbagai kekalutan yang diakibatkan berbagai pemberontakan. Seperti biasanya, jika terjadi huru hara akibat rebutan kekuasaaan maka rakyat kecillah yang menjadi korban, rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa. Dalam zaman apapun, merekalah yang selalu dijadikan kambing hitam sekaligus dijadikan wadal untuk mengantarkan para mannusia ambisius yang tidak pernah mengenal kata puas! Menghadapi semua itu Pemerintah Orde Lama ternyata tidak mampu mengantarkan rakyat hidup adil dan makmur baik material maupun spiritual!

Ketika pemerintahan Orde lama tumbang, kemudian muncullah pemerintahan Orde baru meneruskan perjuangan mewujudkankan amanat rakyat yang gagal diemban oleh Pemerintahan Orde Lama. Pada awalnya ORBA ingin melakukan koreksi terhadap pemerintah sebelumnya yang otoriter dan sentralistis, tetapi tenyata ORBA mengulangi hal yang sama pula. Keadaan itu diperparah lagi oleh maraknya korupsi, kolusi, nepostisme. Puncaknya adalah terjadinya krisis multidimensi yang melanda bangsa kita, yang diikuti dengan tumbangnya Orde Baru.

Setelah itu, Orde Reformasipun muncul menggantikan Orde Baru. Tidak tanggung-tanggung selama Orde Reformasi itu telah terjadi pergantian tiga orang presiden dalam waktu yang sangat singkat. Akankah Orde Reformasi mampu mengemban amanat rakyat? Hal itu perlu kita dukung dan sekaligus kita buktikan. Harapan kita Reformasi yang digembar-gemborkan itu tidak hanya Reformasi balik nama, seperti nama babu yang kemudian diganti menjadi pembantu, dimana hakekat keduanya adalah sama saja.

Sebagai umat islam, yang menduduki mayoritas di negeri ini, tentu saja ikut bertanggungjawab terhadap segala malapetaka yang menimpa negeri ini.

Pada bulan yang suci ini marilah kita renungkan kembali lailat al-Qodar, turunnya al-Qur'an, mudah-mudahan dengan bertafakur mengenang kembali turunnya al-Qur'an kita akan mendapatkan pencerahan dalam kehidupan pribadi, keluarga, berbangsa dan bernegara. Hal itu tidak mustahil terjadi karena latar belakang sejarah turunnya al-Qur'an merupakan jawaban terhadap kondisi sosial budaya jahilihayah yang membelenggu kehidupan manusia pada saat itu. Dimana pada saat itu nabi Muhammad di hadapkan pada kondisi umat yang saling bermusuhan dan saling tindas-menindas diantara sesamanya. Betapa busuknya Kondisi umat pada saat itu, sehingga di dalam surat Al-Imran ayat 103 diibaratkan sudah berada di tepi jurang neraka kehidupan :

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Qs. 3:103)

Demikianlah kondisi sosial budaya menjelang turunnya al-Qur'an.
Menghadapi semua itu jiwa Muhammad tidak mau berdiam diri melihat manusia sudah hanyut didalam kesesatan. Hati Muhammad berontak ingin menemukan kebenaran sejati, bukan kebenaran seperti yang dianut oleh ahli-ahli pikir saat itu, atau kebeneran yang ditawarkan oleh tukang-tukang ramal. Ia sangat merindukan kebenaran sejati itu, tetapi bagaimana, saat itu beliau tidak bisa menjawabnya karena wahyu belum turun.

Dengan berbekalkan kesucian hati dan kerinduan yang bergelora, akhirnya dia bertahannuf di gua Hira’. Pada bulan Ramadhan, tahun 610 M, kebenaran sejati itu akhirnya dia dapatkan, kebenaran sejati yang datang dari Rabb sekalian alam.

Malam turunnya wahyu itu dikenal dengan malam Lailat Al-Qodar. Malam penetapan dan pengaturan, dimana mulai saat itu perjalanan hidup manusia mendapatkan suluh pelita berupa wahyu yang bernama al-Qur'an. Malam itu telah dijelaskan antara yang haq dan yang bathil. Dan manusia dipersilahkan beralternatif dengan racangan dan kepastian Allah tersebut. Al-Qur’an itulah yang akan mampu merubah hidup manusia dari posisi dzulumat menuju kehidupan Nur.

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
(Qs. 14:1)

Itulah kebenaran sejati yang datang dari Pencinta alam semesta ini. Selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari lamanya ayat-ayat al-Qur'an silih berganti turun, dan selama itu pula nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya tekun mengajarkan al-Qur'an dan membimbing umatnya, hingga pada akhirnya mereka berhasil membangun Madinat al-Munawwarah yang selalu disinari oleh Nur Ilahi.

Itulah revolusi yang sebenarnya. Revolusi alam pikiran yang berakibat terjadinya revolusi pandangan dan sikap hidup manusia.

Sejarah membuktikan setelah malam Lailat al-Qodar itu terjadilah perubahan yang dahyat di panggung dunia. Dengan turunnya al-Qur'an itu umat islam lahir kembali. Ia lahir di gurun tandus. Pendukungnya sedikit, pengembara pula. Dan sebelum wahyu itu turun, mereka tidak punya kedudukan dan tempat dalam sejarah. Tetapi, kemudian, dengan cepat sekali [untuk ukuran sejarah], islam berkembang kesegala penjuru dunia tanpa bantuan kekuasaan dan banyak umat. Dalam kesulitan yang dahsyat, tak sampai dua abad dari detik kelahirannya, benderanya telah berkibar antara pegunungan Pyrenia dan Himalaya, antara padang pasir di tengah Asia sampai ke padang pasir di Afrika.

Keberhasilan yang gilang-gemilang itu akibat terevolusikannya alam pikiran sehingga membentuk pola pandangan dan sikap hidup yang baru!

Hal itu tidak mengherankan sebab nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur'an memang memiliki kemampuan seperti itu, satu kemampuan yang akan mengantarkan para penyanjung dan para pendukungnya mencapai kehidupan jannah, baik di dunia maupun diakherat.

"Sesungguhnya Al Qur'an menurut sunah rasul ini memberi pedoman kearah satu kehidupan lebih tangguh yaitu menghamparkan satu kehidupan gembira untuk mukmin yang berbuat tepat bahwa bagi mereka yang demikian adalah satu imbalan kehidupan agung tiadatara" (Qs. 17:9)

"Dan sesungguhnya yang tidak mau beriman terhadap akhirat niscaya KAMI akan menimpakan satu kehidupan adzab lagi pedih tiada tara". (Qs. 17:10)

Kemampuan itu tentu saja tidak didapatkan secara mudah, tetapi memerlukan perjuangan yang berat untuk mendapatkannya. Memahami makna al-Qur'an secara benar adalah syarat mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, sebab dengan memahami makna al-Qur'an kita akan dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalam al-Qur'an itu perlu kita internalisasikan di dalam kesadaran, sebab nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan baku perubahan sosial. Tanpa melakukan itu tidak mungkin umat islam akan bangkit dari keterpurukannya.

Oleh karena itu di bulan yang suci ini ada beberapa hal yang patut kita renungkan.
* Sudahkah al-Qur'an kita fahami seperti rassul memahaminya. Jika sudah, kenapa selalu terjadi perpecahan dan perselisihan antar umat islam?
* Sudahkah kita bersungguh-sungguh mempelajari al-Qur'an?
* Sudahkah gerak hidup kita dilandasi oleh nilai-nilai al-Qur'an, atau masih dilandasi oleh hawa nafasu?
* Apakah kita sudah mengenal gerak hidup yang dilandasi perintah Allah dan yang di dasari oleh hawa nafsu?
* Apakah selama ini kita menganggap yang paling benar? Sudah pernahkan kita membenturkan anggapan kita dengan realitas sosial yang ada?
* Sudahkah kita merenungkan keberadaan kita di tengah hiruk-pikuknya pertarungan peradaban ini? Apakah kita telah menjadi umat yang unggul atau justru menjadi pecundang?
* Apakah ada hubungannya antara kemalangan nasib kita dan ketaatan kita kepada perintah Allah [Yang telah tertulis di dalam al-Qur'an]
* Perhahkah kita merenungkan doa sapu jagad, fi dunya hasanah fi al-khirati hasanah?
* Apakah pahala yang selalu didambakan oleh umat islam itu hanya dipetik setelah diakherat nanti?
* Telah lama kita dijajah oleh bangsa asing, apakah itu merupakan siksa dari Allah atau memang sudah nasib kita yang selalu menjadi tunggangan bangsa lain?
* Sudah saatnyakah pengkajian-pengkajian di bulan ramadha ini kita tingkatkan menuju pemahaman al-Qur'an? Atau tetap kita lestarikan obral ganjaran dan tadarus al-Qur'an yang mengedepankan kecepatan membaca tanpa perlu memahami maknanya?

Itulah bebarapa hal yang patut kita renungkan dibulan ramadhan ini. Untuk lebih lengkapnya anda perlu melakukan inventarisasi masalah sendiri sebagai bahan renungan. Mudah-mudahan sehabis ramadhan kita mendapatkan pencerahan! Amiin!
Dikutip dari:
Copyright © ABDYA ACEH INDONESIA