Kebal Dalam Budaya Aceh


KEBAL( Keubai ) dalam filosofi Aceh dahulu diartikan macam ragam. Keubai berarti han luet sapeu ( tidak mempan apa-apa ) atau Kloe Prip ( Tidak mau dengar apa-apa ). Kebal dari segala hal, dalam ranah orang tua dahulu bisa juga dimaknai dengan bebal, tidak tau malu ( muka teubai ) atau manusia bermuka “Badak”. Manusia yang bermuka tebal dalam pranata sosial masyarakat Aceh tempo dulu diartikan negatif, seperti halnya analogi sifat manusia bakhil dikenal dengan nama Kaplat, rimueng pluek. Begitu juga manusia cerdik, banyak siasat digelar dengan peulandok ( kance, kancil ).

***

KEUBAI dalam khasanah budaya Aceh ternyata juga berwujud secara nyata/fisikal. Dalam permainan Daboih ( debus ) yang diiring rapai misalnya, kebal terhadap senjata tajam seperti reuncoung, peudeung ( rencong, pedang ) adalah sifat dasar kebal beuso ( besi ). Rapai dabus dan atraksi debus adalah khas ekspresi keras dan tegasnya semangat hidup dan juang masyarakat Aceh yang menyatu dalam satuadegan. Artinya bukan hanya simbol kekerasan an sich Jenis kebal, selain kebal debus dalam rapai, dikenal juga jenis keubai tujoh ( kebal tujuh ), keubai saroeng ( kebal asal/bawaan dari lahir ). Kebal tujuh misalnya, baru menampakkan wujud jayanya ketika penganut ilmu kebal saling memegang tangan enam orang lainnya. Kebal tujuh menurut cerita-cerita orang tua di Aceh ( tuturan maja ) sering digunakan dalam peperangan dengan belanda, dan serdadu jepang. Sedangkan kebal bawaan lahir ( keubai saroeng ) adalah kelebihan bawaan sejak seseorang lahir. Biasanya bayi yang lahirnya terbungkus dengan
plasenta utuh, ketika dia beranjak usia tujuh tahun maka si anak akan kebal. Kesaksian penulis menyangkut kelahiran sianak kebal bawaan tersebut selalu ditandai dengan suatu ritual pemuka adat untuk menanam bibit kelapa kuning ( Ue Gadeng ) disamping kanan rumah.
***

NAMUN begitu, dalam khasanah budaya bisa jadi ritual itu digolongkan bid’ah. Akan tetapi tidak begitu penting untuk dibahas tanpa dalil-dalil yang sahih, karena akan menimbulkan pertentangan yang tak perlu. Bagi penulis kebiasaan, reusam, adat yang pernah hidup di Aceh justru khasanah yang tak ternilai harganya.

Keubai dalam perspektif ilmu-ilmu agama, tidak dianggap ilmu yang saleh ( ileume saleh ), seperti fikah, usuy, tasawoh, tafse, hadih ( fikh, Usul, tasawuf, tafsir, hadits ). Ilmu kebal secara ekstrem dalam dunia modern digolongkan kepada Tahyul. Metode tahyul untuk mencapai berbagai tujuan baik buruk dan jahat. Bagi penganutnya digunakan untuk memagari tubuh ( pageu tuboeh ) dari senjata tajam, api dan lainnya.

Menurut penelitian Snouck Hurgronje selama bertahun-tahun, Salah satu cabang Ilmu yang sangat penting bagi semua orang Aceh, termasuk penguasa, panglima, serdadu adalah ilmu kebal. Prinsip yang mendasari Ilmu Kebal menurut Snouck adalah; pertama, kerangka filsafat pantheistis. Kedua, teori tentang pengetahuan esensi, atribut dan nama, sesuatu zat/barang memberikan penguasaan penuh atas zat/barang itu sendiri ( Baca juga; dalam The Achehnes, Dr.C.Snouck Hurgronje, Adviser For Native Affairs,Netherlands India ).

Kombinasi kedua pandangan tersebut menimbulkan pengetahuan tentang sifat
hakiki dari besi ( ma’rifat beuso ) untuk membentuk faktor terpenting dalam
memberikan kekuatan kepada seseorang untuk menolak logam dari berbagai senjata.

Sebahagian penganut paham mistik Ini dialasankan kepada beberapa hal. Diantaranya, Semua unsur besi ada pada manusia karena manusia adalah pengejawantahan ( Ciptaan ) Tuhan yang paling lengkap.

Dan Tuhan adalah segalanya. Seluruh ciptaan merupakan semacam evolusi Tuhan dari dirinya sendiri, dan evolusi ini berlangsung dalam tujuh garis atau tingkat ( martabat tujoh ), yang akhirnya kepada yang Esa melalui manusia. Artinya, semua unsur dalam dunia ini adalah bersatu dan dapat bertukar tempat.Ileumeu Beuso ( ilmu besi ), mempunyai kekuatan untuk memberi kepada bagian tubuh yang terkena serangan besi atautimah, suatu formasi besi atau yang lebih kuat lagi sehingga orang menjadi keubai ( kebal ) Senyawa ilmu kebal, dalam berbagai literatur, dan dalam Kitab Tajul Muluk, dipengaruhi oleh unsur air raksa. Air raksa dianggap mempunyai pengaruh yang misterius terhadap logam lain; oleh karena itu, salah satu cara populer zaman dulu di Aceh, untuk memperoleh kekebalan tubuh adalah memasukkan air raksa dengan cara tertentu kedalam tubuh manusia ( peutamoeng ra’sa ). Hal ini akan berhasil apabila dilakukan dibawah bimbingan guru ( Guree ) yang terlatih.

Pada zaman dahulu sosok guru terlatih tersebut memang pernah ada di Aceh. Adalah Teuku Ne’, dikenal gure ne’ seorang laki-laki dari Batee Iliek samalanga ( Sekarang dalam wilayah Kabupaten Bireuen ), Guree Teuku Nya’ Banta ( Panglima XXVI Mukim ) disebut Teungku di Pagar Ruyueng, guree Panglima Meuseugit Raya ( menurut cerita berasal dari daerah Dayak)

Pemasangan air raksa biasanya didahului dengan kaluet ( khalwat, penebusan dosa dengan bertapa, semedi berdasarkan agama ) dalam tempat terpisah
dengan orang ramai seperti digunung. Khalwat dilakukan dengan puasa, dan berbuka dengan Eumping Breuh ( Beras yang ditumbuk ).

Setelah itu dimulailah menggosokkan air raksa, umumnya pada tangan, yang berlangsung sampai air raksa mencukupi seperti perintah sang guree, untuk dapat diserap oleh tubuh. Selama tujuh hari harus menjalani berbagai pantangan; misalnya tidak boleh melakukan hubungan seksual, memakan makanan yang hampir basi ( bue sijuek ), dan dilarang memakan sayur boh jantoeng (jantung pisang ), on murong ( daun kelor ) dan labu.

Selanjutnya seseorang yang sudah menjalani prosesi itu, menurut cerita-cerita orang tua dikampung, harus menghafal doa-doa tertentu pada waktu yang sudah ditetapkan guna mempertahankan kekebalannya. Doa-doa tersebut biasanya, dibaca sesudah shalat wajib dan sunat. Dan ada pemahaman, kalau sipenganut ilmu kebal tidak taat ibadah shalatnya maka ilmu kebalnya menghilang ( aleeh ), dan ketika benda tajam semisal rencong melukai tubuhnya, maka yang salah adalah dirinnya atas kelalaian meninggalkan Shalat wajib, tentu sang gure dalam hal ini tidak bersalah. Dan itu sudah menjadi kesepahaman yang lazim dalam dunia kebal.

Dalam dunai debus, keyakinan yang dipahami turun temurun oleh penganut ilmu kebal untuk tidak berlaku sombong dan melebih-lebihkan dirinya. Sekebal apapun
dia, ketika niatnya sudah sombong maka akan binasa diujung rencong, pedang bahkan peluru sekalipun.
***

SELAIN kebal dengan inti Air raksa, di Aceh juga dikenal kebal dengan Ajimat. Seperti Peugawe, sejenis ulat, serangga yang keras seperti logam baja ( fosil ). Dia terdapat secara kebetulan dipinggirpinggir hutan atau jalan. Peugawe yang berbentuk ulat sangkadu pada suatu saat pernah dihargai dengan sangat mahal.

Peugawe digunakan dengan terlebih dahulu diramu dengan olesan e’ malo ( pati getah ). Selain Peugawe,dikenal juga ajimat Kebal Rante Bui ( rantai babi ) hutan. Rante Buy tunggai adalah jenis yang paling dicari, dan jarang didapat. Menurut sahibul hikayatuntuk mendapatkan rantai babi tunggal tersebut terlebih dahulu harus bertarung dengan babi sampai kemudian babi meregang nyawa. Rantai babi tunggal biasanya dikulum dalam mulut. Pengalaman penulis, pemburu rantai tersebut biasanya dilakukan ureueung meuleuk ( pemburu burung, sejenis perkutut ) atau ureung let buy ( pemburu babi ), dengan cara mengintai babi, terutama saat babi sedang menikmati makanan atau mangsanya. Kebiasaan; rantai yang dikulum kemudian dilepas sesaat
***

BEGITULAH, Debus, kebal, rapai, mewarnai khasanah Aceh, antara keras dan sejarah yang berdarah-darah, antara bertahan dan menyerang, Namun pada sisi tertentu manusia Aceh terkadang juga seperti Fhilosofi Keubai. Dan sering menghujam
rencong ke perut sendiri.


Kiban, peu nyoe meunan, na tambahan?, jak ta diskusi !, bantu uloen tuan !

tnks

Lihat Video....




0 komentar:

Post a Comment

Copyright © ABDYA ACEH INDONESIA