Ada Apa Dengan Prabowo?


Selain dipuji, langkah-langkah politik diayunkan Prabowo dengan Gerindra-nya juga semakin mengundang tanya. Ini tak bisa dilepaskan dari harapan yang sebelumnya ditumpahkan ke mantan menantu Soeharto ini.

Pada Prabowo, sejumlah kalangan menyandarkan harapan. Dengan mengesampingkan rekam jejak militernya, mereka mulai membangun angan-angan bahwa Prabowo bakal menghadirkan perubahan yang lebih serius. Terutama sekali mereka berharap Prabowo bisa membawa kembali semangat nasionalisme yang makin luntur.

Angan-angan itu sepertinya merupakan semacam percampuran dari besarnya terpaan iklan Prabowo, pokok-pokok pikirannya yang tertuang dalam buku bertajuk "Kembalikan Indonesia" dan juga aura yang ditularkan dari mulut ke mulut. Sebab, sebagian besar mereka sejatinya tak pernah bersua dan apalagi berbicara dengan Prabowo. Dalam perkembangannya, angan-angan itu lebih mirip ilusi.

Tanda-tandanya mulai tampak ketika Gerindra memajukan Murdiono sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai. Ketika itu, mereka yang berharap pada Prabowo masih meyakini diri bahwa hal tersebut hanyalah sebuah "kepleset" langkah saja.

Belakangan mereka makin was-was setelah beredar Manifesto Politik Gerindra. Pokok yang membua mereka "merinding" adalah keinginan Gerindra untuk kembali kepada UUD 45. Bagi mereka, ini jelas petanda buruk.

Petanda itu semakin kuat setalah Gerindra memberi nama sebuah underbouwnya dengan akronim "Tidar". Tak pelak, akal dan hati mereka yang pernah berharap mulai mengalami proses divergensi. Dan, ini dituntasi tatkala tanpa tedeng aling-aling Prabowo menyatakan hasratnya untuk tetap didukung keluarga Cendana.

Dan, sungguh pantas jika orang-orang pun bertanya-tanya: mengapa Prabowo malah menawarkan "masa lalu" tatkala publik justru tengah memandang "masa depan"?

Sumber berpolitik menyebutkan, pilihan untuk menggunakan idiom-idiom masa lalu (tentara atau cendana) bersumber dari hasil survei internal partai. Jadi, ini adalah pilihan yang sifatnya taktis saja untuk mendulang suara.

Bila ini benar, tentu saja ada pertanyaan lain yang langsung mengembang: tidakkah Gerindra belajar dari pengalaman PKPB pada pemilu 2004 lalu? Ketika itu tak kurang-kurang Mbak Tutut yang langsung tampil ke depan. Hasilnya, sebagaimana kita tahu, PKPB hanya meraih 2,12% atau ekuivalen dengan 2 kursi di DPR.

Lantaran itu berkembang spekulasi lain: Kehadiran Prabowo dengan Gerindra-nya punya tujuan lain. Menurut seorang analis politik, Gerindra adalah PKPB pada pemilu 2004 dan PDR pada pemilu 1999. Artinya, keberadaannya terutama untuk memperkuat kontras terhadap posisi pencitraan Golkar.

Dalam kasus PKPB, pendakuannya sebagai "orba sejati" yang terang benderang merupakan "berkah" bagi Golkar untuk memperkuat citra "Golkar Baru"-nya, meski faktanya orang-orang dan gagasannya tetap sama.

Pada kasus PDR, partai ini telah menjadi "sansak hidup" dengan kasus KUT-nya, sementara Golkar bisa melenggang dengan JPS-nya. Tentu saja sulit diketahui, apakah pemposisian ini merupakan sebuah desain atau kebetulan sejarah belaka.

Apapun itu, sebagian yang pernah berharap pada Gerindra sudah menanggalkan mimpinya. Yang belum sempat tercebur, berucap syukur. Tapi, sebagian lagi, masih berharap, langkah politik Gerindra akhir-akhir ini hanya taktis semata.


Dikutipdari http://berpolitik.com

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © ABDYA ACEH INDONESIA