Biji Kopi Murni


ARABICA. Robusta. Timtim. Sidikalang. Jember. Dia sebut satu per satu jenis kopi itu. Dia juga hafal karakter tiap jenis. Robusta harum, tapi Arabica yang paling laku di pasaran.
Bardan Sahidi nama lengkapnya. Dia anak kedua dari keluarga petani kopi Gayo. Kebun orang tuanya seluas dua hektare. Hasil kebun itu membiayai sekolah Bardan dan dua saudaranya hingga tamat sarjana.
Ketika pemilihan umum legislatif 2004 silam, Partai Keadilan Sejahtera setempat menjagokan Bardan untuk duduk di kursi dewan. Kini, dalam usia 28 tahun, bapak beranak satu ini menjadi legislator termuda di Kabupaten Aceh Tengah. Ketika sebagian besar penduduk Indonesia sengsara akibat krisis ekonomi antara tahun 1997 sampai 1998 dan berujung pada jatuhnya pemerintahan Soeharto, sebagian besar tetangga Bardan di Takengon, ibu kota Aceh Tengah, justru makmur mendadak. Masa krisis di Indonesia adalah masa keemasan petani kopi di Takengon.
Pasalnya, kopi Takengon bukan konsumsi dalam negeri. Berton-ton ia dikirim ke Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan sejumlah negara Eropa. Perdagangan kopi di pasar internasional menggunakan dolar sebagai nilai tukar. Saat dolar menguat terhadap rupiah dan nilai rupiah terus merosot, petani kopi pun bergelimang uang.
Sejumlah warga membeli kendaraan dunia, sebagian lagi mencari kendaraan ke surga yang mereka yakini: menggunakan uang kopi itu untuk ibadah haji ke Mekah.
“Ada kebanggaan bisa pergi haji dari hasil panen kopi,” ujar Bardan, yang masih ingat histeria saat itu.

Benih Konflik
HAMPARAN kebun kopi seperti selimut hijau yang menutupi perbukitan memasuki Kota Takengon. Luas keseluruhan perkebunan itu hampir 74.000 hektare, sebelum Aceh Tengah dipecah jadi dua kabupaten pada awal 2004, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tapi orang lebih mengenal daerah ini dengan nama dataran tinggi Gayo.
Rata-rata kebun milik rakyat. Namun, sebelum itu pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membukanya, menjelang akhir abad ke-19.

Kuli dari Jawa
Dalam buku The Blood of The People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Anthony Reid mengungkapkan, ini merupakan proyek perkebunan yang dikembangkan pemerintah kolonial di Sumatra Timur. Setelah tembakau dan kopi, Belanda kemudian membuka perkebunan teh, karet, dan kelapa sawit.
Kuli perkebunan didatangkan dari Jawa, karena saat itu Belanda kian sulit memperoleh tenaga kontrak yang terampil dan murah dari Tiongkok. Jumlah kuli kontrak asal Tiongkok mencapai 59.000 orang pada tahun 1900. Kuli Jawa sekitar 25.000. Namun pada 1929, jumlah kuli asal Jawa melonjak hampir sepuluh kali, sekitar 240.000. Sebaliknya, jumlah kuli Tionghoa berkurang dua kali lipat.
Pada tahun 1948, tiga tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dari Belanda, orang Gayo dan Jawa mengambil alih perkebunan-perkebunan tersebut.
Ketika melakukan perjalanan ke Takengon, kesempatan menyeruput kopi tak saya lewatkan. Kopi kental, pekat, harum. Meski doyan minum kopi, saya tak pernah mau pusing soal jenis kopi apa yang saya minum. Robusta? Arabica? Timtim. Entahlah. Nikmati saja.

“SAYA juga petani kopi,” ujar Bahtiar Gayo, seraya menyeruput kopinya.
Bahtiar koresponden harian Waspada untuk wilayah Aceh Tengah. Kantor pusat Waspada ada di Medan. Sudah hampir lima tahun dia bekerja di harian tersebut.
Dia kemudian menuturkan pengalamannya sebagai wartawan dan petani kopi di masa konflik. Dua-dua mata pencarian itu berisiko tinggi.
“Kebun kopi saya ada dua hektare. Tidak terurus selama konflik,” kata Bahtiar.
Lebih dari 30 hektare kebun kopi di Aceh Tengah telantar, karena ribuan warga terpaksa mengungsi di masa konflik.
“Kebun kopi saya sudah jadi semak dan hutan sewaktu konflik. Saya tidak berani ke kebun, takut kena tembak,” ungkap Muhamad Yamin kepada saya.
Konflik membuat tiga dari lima anak Yamin berhenti sekolah. Keluarganya hidup serba terbatas. Yamin warga Pondok Baru, Bener Meriah. Dia pernah datang ke kantor Badan Reintegrasi Damai Aceh atau BRDA di Banda Aceh untuk minta bantuan dana. Dia perlu biaya membuka kembali kebunnya.
Pondok Baru pernah jadi salah satu daerah konflik terparah. Ada pasukan GAM yang bergerilya dari kebun kopi ke hutan. Ada patroli TNI bersenjata lengkap. Dan, belakangan muncul sipil bersenjata yang anti terhadap GAM. Tak ayal, petani kopi banyak yang tewas di tengah pertarungan ini.

PONDOK KRESEK, 2001, menjelang tengah malam. Pirin dan Suharto, ayah dan anak, tengah jaga malam bersama sejumlah lelaki di desa itu. Udara sejuk. Kebun kopi mengelilingi permukiman. Pondok Kresek terletak di Kecamatan Pondok Baru.
Tiba-tiba datang gerombolan bersenjata masuk kampung. Sekitar seratus orang. Warga menduga mereka itu pasukan GAM.
Udara sejuk pegunungan berubah panas. Gelap menjadi terang. Gerombolan itu membakar rumah warga, menembak membabi-buta. Orang kampung kocar-kacir menyelamatkan diri, lari meninggalkan kampung. Suharto selamat. Tapi bapaknya, Pirin meninggal dunia.
Selain Suharto, Radinal Sagita termasuk yang selamat malam itu. Umurnya 33 tahun. Panggilannya Enal. Sejarah keluarga Enal dimulai dari kakeknya yang jadi kuli kontrak Belanda dan tinggal di kabupaten ini.
Enal tak merasa punya persoalan dengan GAM. Dia tak tertarik dengan niat gerakan itu memerdekakan Aceh dari Indonesia. Dia tak tertarik pada politik. Tapi Enal tak habis pikir, mengapa para petani Jawa ikut dimusuhi dan dibantai.
Hati Enal sakit mendengar sumpah-serapah “Jawa penjajah, Jawa monyet” yang kerap dilontarkan GAM kepada warga keturunan Jawa.
Lama-kelamaan dia mendendam dan merencanakan pembalasan
Enal kemudian ikut front dan memimpin anak-anak muda melakukan perlawanan terhadap GAM. Dia jadi koordinator organisasi yang diberi nama Putra Jawa Kelahiran Sumatra atau disingkat Pujakesuma.
Mereka merakit senjata sendiri. Ilmu diperoleh dari orang tua mereka yang pernah bergabung dengan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII. Besi batangan, bahan baku senjata, diperoleh dari toko besi. Dia dan anggota front juga membuat bom molotov dari botol-botol beling. Mereka pun mengumpulkan parang.
Pada 2003, Enal bergabung dengan Pembela Tanah Air atau PETA wilayah Bener Meriah. Front ini gabungan dari front sejenis, seperti Gabungan Rukun Damai (Garuda), Front Pembela Merah Putih, Pujakesuma, dan beberapa lainnya. Total mereka yang bergabung dalam PETA mencapai 30.000 orang. Anggotanya tak hanya orang Jawa kelahiran Aceh, tapi juga orang Gayo.


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © ABDYA ACEH INDONESIA