Panorama Terselubung


Berbeda dengan Aceh, diamlah di daerah hulu yang berpenduduk sangat beradab, yang kecerdasannya makin berkurang semakin jauh tempatnya ke pegunungan. Suatu kaum yang intelek, yang dapat menerima kecerdasan yang lebih tinggi dan dapat ditarik (relevansinya) dengan peradaban Eropa. Demikianlah kata Prof Wilhelm Voltz.TERJEMAHAN dari kutipan berbahasa Belanda karya HH van Kol Tiga Kali Melintasi Sumatera dan Perjalanan Mengembara ke Bali itu terpampang rapi di sebuah rumah penduduk Takengon, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam.

SELEMBAR kertas yang mendeskripsikan masyarakat Dataran Tinggi Gayo itu dicetak berwarna dalam kertas HVS yang kemudian dibingkai sebagai pajangan di rumah Zuhrupan Daman, warga Gayo. Masyarakat Gayo memang begitu apresiatif dengan kesan HH van Kol yang pernah singgah di Takengon, awal tahun 1911.

Suku Gayo di Aceh Tengah berbeda dengan penduduk daerah Aceh pada umumnya. Mereka tidak mau disebut orang Aceh, dan lebih suka disebut sebagai orang Gayo. Karena itu, deskripsi orang Gayo berbeda dengan Aceh hingga kini tetap relevan.

Gayo memang mempunyai sejarah keturunan dari Batak Karo di Sumatera Utara. Pada awalnya, Aceh Tengah yang zaman dulu masih kosong belum berpenduduk memang menjadi pilihan warga Karo untuk bermigrasi. Kini Aceh Tengah telah dihuni beragam suku yang hidup damai.

Dalam hal pilihan politik dan dalam hal memandang Indonesia, Gayo memang berbeda dengan cara Aceh umumnya. Karena itu, saat ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gayo tidak begitu antusias menyambutnya.

Fakta bahwa Gayo tidak begitu seaspirasi dengan GAM juga diakui oleh Gubernur GAM Wilayah Linge, Aceh Tengah, Dailami, yang putus asa karena tidak mendapat dukungan di Aceh Tengah. "Untuk membuat markas saja di sana tidak bisa karena tidak didukung masyarakat sekitar," katanya.

Saat konflik memanas di NAD, Aceh Tengah sempat bergolak namun tak selama di tempat lain di NAD. Kendala yang dihadapi Aceh Tengah waktu itu adalah jalan satu-satunya yang menghubungkan Aceh Tengah dengan dunia luar, yaitu Jalan Bireuen-Takengon, sempat "terputus".

Enam bulan setelah diberlakukan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kini jalur Bireuen-Takengon sudah pulih. Angkutan malam pun juga sudah kembali beroperasi, walaupun baru terlihat kendaraan pengangkut sayur dan kebutuhan pokok lainnya.

Takengon sebagai ibu kota Aceh Tengah sejak awal dirancang sebagai kota wisata. Selain lokasinya berada di poros Aceh, Takengon memiliki sejumlah obyek wisata yang tidak ada di tempat lain. Hanya saja, hingga kini wisata Takengon masih terpukul akibat konflik.

SALAH satu obyek wisata yang terkenal di Takengon adalah Danau Laut Tawar, satu-satunya danau luas di NAD yang diapit oleh perbukitan. Dalam hal wisata alam, belum lengkap kiranya berkunjung ke NAD jika belum sampai ke danau ini.

Lokasi Danau Laut Tawar memang strategis. Dapat dikatakan, keindahan danau ini menjadi semacam ucapan selamat datang kepada pengunjung yang pertama kali memasuki Takengon.

Hanya saja, ucapan selamat datang itu kini semakin memudar keindahannya. Debit air danau semakin menyusut seiring dengan maraknya pembabatan hutan di wilayah daerah aliran sungai Danau Laut Tawar.

Beberapa obyek wisata yang menjadi pendukung kini sudah tak terurus, terbengkalai, dan kesepian tanpa pengunjung. Imbas dari rawannya keamanan jalan utama Bireuen-Takengon memang menjadi penyebab matinya wisata Takengon.

Di pintu utama menuju Takengon, tepatnya di sebuah tikungan yang terdapat semacam menara pandang untuk melihat danau, kini kondisinya semakin mengenaskan. Rumput ilalang dibiarkan tumbuh tinggi menutupi sudut pandang ke danau.

Jalan yang melingkari danau kini juga rusak, dan selama konflik ini belum diperbaiki sehingga mengganggu kenikmatan perjalanan. Padahal, jalan itu menjadi penghubung utama antara obyek wisata satu dengan yang lainnya.

Salah satu obyek pendukung yang kini masih hidup adalah Goa Loyang Koro. Namun, tidak jelas apa sebenarnya yang dijual dari obyek ini. Tipe goa yang ditawarkan pun tak lebih dari sebuah lubang mati.

Hanya saja, di lokasi wisata goa ini terdapat persewaan speed boat untuk berkeliling danau dengan tarif relatif murah. Jadi, kalau tidak ingin naik speed boat berkeliling danau, tidak ada alasan mengunjungi goa ini.

Terlepas dari semua kekurangan Danau Laut Tawar akibat imbas konflik, Takengon masih tetap layak untuk menjadi alternatif wisata ketika semua obyek wisata di NAD ambruk. Takengon menggabungkan antara keindahan danau dan bukit, kesejukan udara, tradisionalisme, sejarah perjuangan, serta keunikan budaya.

ACEH Tengah setidaknya mempunyai 20 obyek wisata. Tapi, sama dengan nasib Danau Air Laut Tawar, rata-rata obyek wisata itu terbengkalai. Sepinya wisatawan tidak mendorong pemerintah kabupaten untuk memelihara obyeknya.

Tidak hanya obyek wisata alam yang terbengkalai, obyek wisata sejarah pun telantar. Salah satu contoh adalah Monumen Radio Rimba Raya (RRR) yang merupakan wisata sejarah mengenang keberhasilan merebut kemerdekaan dengan siaran radio.

Monumen RRR di Desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Aceh Tengah, itu kini semakin kesepian di tengah rimba. Selain ditumbuhi ilalang dan bangunannya retak-retak, fasilitas penunjang seperti taman dan kolam kini sudah tidak ada bekasnya lagi.

Lubang menganga dan retak-retak kini terlihat di bangunan dasar yang mengitari tugu antena. Warga di sekitar monumen mengatakan, sejak tahun 1997 monumen itu tidak pernah dipelihara. "Kami sebenarnya baru saja kerja bakti membersihkan rumput. Sebelum dibersihkan, monumen ini sudah tidak kelihatan," kata Usman, warga setempat.

RRR merupakan siaran radio yang berhasil menyelamatkan Indonesia saat-saat berada diambang kritis ketika ibu kota Indonesia di Yogyakarta berhasil direbut Belanda, 19 Desember 1948. Saat itu, RRI yang biasa menyiarkan kemerdekaan Indonesia juga berhasil dikuasai Belanda.

Radio Belanda Hilversum saat itu menyiarkan berita bahwa Indonesia sudah hancur. Pada saat genting itu, tanggal 20 Desember RRR mengudara dari rimba belantara untuk menyatakan bahwa Indonesia masih ada.

Untuk mengumandangkan siaran RRR, tentara Indonesia dari Divisi Gajah X harus berjuang mati-matian dan bergerilya setiap saat menghindari deteksi musuh. Monumen yang terlihat sekarang dibangun tahun 1990, diresmikan Bustanul Arifin yang saat itu menjabat Menteri Koperasi.

Rahmat, warga Rimba Raya, mengatakan, dirinya pernah mengajukan diri ke Pemkab Aceh Tengah untuk memelihara monumen. "Saya sudah mengajukan permohonan, semacam surat lamaran untuk bisa menjadi penjaga monumen ini, tetapi ditolak," katanya.

Selain monumen yang terbengkalai, sebuah truk tua yang dulu digunakan untuk mengangkut salah satu peralatan RRR, kini menjadi besi tua. Truk milik penduduk itu kini berada di rumah salah satu warga Kabupaten Bireuen.

Warga sekitar maupun warga Aceh Tengah pada umumnya tidak habis pikir mengapa pemerintah menelantarkan bukti sejarah penting tersebut. Jejak sejarah partisipasi Aceh dalam kemerdekaan Indonesia itu kini berangsur pudar.

Walaupun kondisinya aman, namun Takengon terkepung kabupaten lain yang relatif masih berbau konflik. Selama konflik, promosi wisatanya pun terkendala. Namun, bagaimanapun kondisi negeri ini, Aceh Tengah tak akan melewatkan event wisata yang satu ini: pacuan kuda tradisional.

Saat event-event wisata terhenti di NAD, pacuan kuda tetap digelar pada setiap perayaan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus. Bahkan, pacuan kuda tetap meriah seolah tak terpengaruh situasi darurat militer. Dan inilah yang makin mengukuhkan Aceh Tengah " berbeda" dengan Aceh lainnya.

Dikuti Dari:
http://www2.kompas.com

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © ABDYA ACEH INDONESIA